Konferensi Perubahan Iklim Ke-21 di Paris, Perancis yang berlangsung sejak 30 November 2015 telah ditutup akhir pekan lalu. Pertemuan itu menghasilkan beberapa kesepakatan yang mengikat 195 negara peserta. Salah satunya, setiap negara wajib berupaya menahan laju kenaikan suhu bumi dua derajat celsius, atau diupayakan tidak mencapai 1,5 derajat celsius.
“Kesepakatan Paris sebagai komitmen global memperbarui Protokol Kyoto 1997 itu menjadi jalan tengah banyak kepentingan negara atau pihak,” ujar Ketua Kaukus Ekonomi Hijau (KEH) DPR, Satya Widya Yudha, dalam acara Parliamentary Forum dalam rangkaian kegiatan COP 21 di Pavillion Indonesia, Paris, Minggu (13/12)..
Menurut Satya, setiap persetujuan yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam COP 21 harus didukung seluruh pemangku kepentingan. Karena itu, pemahaman seluruh pemangku kepentingan, khususnya DPR RI, sangat penting untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan.
“Apa yang telah disetujui Pemerintah terkait COP 21, tentu perlu dibahas lebih lanjut di DPR,” ucap Wakil Ketua Komisi VII DPR ini, yang juga membidangi masalah Lingkungan Hidup.
Dia menjelaskan, Komisi VII DPR telah melihat perlu adanya Undang-Undang tentang Perubahan Iklim, yang hingga kini belum dimiliki Indonesia. UU tersebut dianggap penting agar dampak dari perubahan iklim sudah diantisipasi sejak dini, sehingga tak ditanggung generasi mendatang.
DPR pun memandang penting adanya revisi UU Lingkungan Hidup. Seperti diketahui, dalam UU Lingkungan Hidup ada aturan yang masih membolehkan pembakaran lahan seluas dua hektare, yang terbukti memberi pengaruh signifikan atas bencana kabut asap belum lama ini.
“Revisi dilakukan agar selaras dengan tujuan Bangsa Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan. Langkah itu juga sejalan dengan komitmen-komitmen pelestarian lingkungan yang menekankan penurunan emisi karbon dan dijaganya kenaikan tempertur di bawah dua derajat celcius,” ucap Satya. (Pris)